THALASSAEMIA MASALAH SERIUS KESEHATAN MASYARAKAT
Hingga saat ini belum ada obat untuk penyakit Thalassaemia secara total. Untuk menjaga stamina dan kesehatan penderita Thalassaemia mayor dilakukan dengan transfusi darah secara teratur, sekali dalam empat minggu. Umumnya anak-anak yang menjalankan transfusi demikian, tumbuh secara normal dan hidup bahagia sampai usia dua puluhan. Tetapi untuk hidup lebih lama mereka memerlukan pengobatan lainnya.
Hal ini disampaikan Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH.Dr.PH dalam rangka peringatan hari Thalassaemia Sedunia di Jakarta, 9 Mei 2010.
Menkes mengatakan, Indonesia termasuk dalam kelompok yang berisiko tinggi Thalassaemia. Prevalensi Thalassaemia bawaan (carrier) di Indonesia sekitar 3-8%. Jika prosentase Thalassaemia 5% saja, sedangkan angka kelahiran 23 per 1.000 dari populasi 240 juta, maka diperkirakan terdapat 3.000 bayi penderita Thalassaemia setiap tahun.
Melihat besarnya angka prevalensi Thalassaemia di Indonesia, maka Thalassaemia menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius karena skrining pengemban sifat kelainan darah tersebut pada berbagai populasi menunjukkan angka yang cukup tinggi.
Menkes menambahkan, pada beberapa populasi, frekuensi pengemban sifat Thalassaemia sangat tinggi mencapai 10% dan 36% untuk Hb-E, dengan prevalensi bervariasi pada tiap kelompok masyarakat. Permasalahan paling pokok adalah bahwa manajemen klinis penyakit Thalassaemia belum merata di Indonesia, jika dibandingkan dengan negara maju bahkan di negara ASEAN sekalipun.
”Hingga saat ini, hanya kota Jakarta yang mempunyai pusat pelayanan khusus untuk Thalassaemia, yang mungkin hanya dapat dimanfaatkan oleh sebagian kecil penderita. Padahal tanpa penanganan klinis yang serius penderita Thalassaemia mayor jarang dapat mencapai usia dewasa”, ujar Menkes.
Ditambahkan oleh Menkes, sudah saatnya sekarang penyakit Thalassaemia mendapat perhatian khusus dan diletakkan pada proporsi yang semestinya dalam sistem pelayanan kesehatan nasional. Tindakan preventif dan pengendalian penyakit tersebut harus segera disosialisasikan kepada masyarakat dengan tetap berpatokan pada nilai–nilai etika, moral dan budaya bangsa kita.
Kendati belum ada obatnya, dapat dilakukan tindakan pencegahan dan kontrol Thalassaemia. Salah satunya adalah membentuk Kelompok Kerja Thalassaemia di tingkat Nasional dan Regional, dengan melibatkan para Ahli, terdiri dari Ahli Penyakit Anak, Penyakit Dalam, Patologi Klinik, Genetik, Ahli Penyakit Kandungan, Bidan, Perawat, bahkan kalau perlu melibatkan Para Psikolog, Pekerja Sosial dan Wakil Orang Tua Penderita. Selain itu, juga perlu dibentuk suatu wadah konseling pra nikah bekerjasama dengan Kantor Urusan Agama, bagi calon pengantin potensial Thalassaemia untuk melakukan pemeriksaan laboratorium. Kegiatan serupa di Iran, menunjukkanpenurunan angka penderita sampai dengang 1 per 100.
Dengan adanya kelompok kerja thalassaemia, diharapkan mereka dapat menyelenggarakan pertemuan-pertemuan ilmiah secara rutin baik tingkat lokal maupun regional dan mengevaluasi serta memantau permasalahan yang ada, serta memberikan informasi tentang kebijaksanaan dan langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi Thalassaemia, kepada Instansi terkait atau Kementerian Kesehatan.
Thalassaemia adalah penyakit keturunan dimana sel darah merah rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal (120 hari). Sedangkan penyebab terjadinya Thalassaemia dikarenakan sel–sel darah tidak mengandung cukup hemoglobin karena adanya kelainan atau perubahan pada salah satu bagian gen hemoglobin.
Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id, info@puskom.depkes.go.id, kontak@puskom.depkes.go.id.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar