suara ujung pena

Jumat, 09 Juli 2010

Cemeti cerdas,, kombinasi cerminan diri dan pencerahan arti kehidupan (part1)

Enam puluh menit berjuta rasa, menyiratkan ribuan makna di suatu ruangan intelejensia. Bertiga. Aku, dia, dan satu orang tua yang bijaksana dengan penuh perhitungan dalam setiap kata, berwawasan dunia, penuh wibawa, serta bertindak dengan selalu memohon perlindungan Yang Maha Esa.

Deringan telfon genggam membangunkanku di pagi 9 Juli ini. “Sudah tanggal 9 Juli, berarti waktu yang tersisa tinggal 6 hari lagi menjelang tanggal 15, batas pengumpulan karya ini.” batinku berbicara. Jarum jam menunjukkan pukul 06.30 ketika aku beranjak sempurna dari tempat tidurku. “Apa yang harus aku lakukan hari ini?”, Aku kembali membatin. Semalaman begadang hingga jam tiga pagi untuk membaca literature dan menulis Bab Pendahuluan cukup membuatku ‘melayang’ pagi ini. Mataku masih sulit untuk melihat sempurna, tubuhku lunglai, dan parahnya lagi relung hatiku terasa ngilu yang sangat mendalam, seperti yang dirasakan orang penderita penyakit kuning. Oh, sungguh aku tidak berharap itu terjadi padaku.

“tiiiiit..tiiiiit..”, telfon genggamku kembali berdering, kali ini sms. Begini tulisannya ‘Li, kita konsulnya jam berapa?’, aku membaca pelan dalam hati. Ini jawaban atas pertanyaanku tadi, mengenai apa yang harus aku lakukan hari ini. Aku ingat aku harus menemui Dosen Pembimbing untuk dimintai saran atas karya timku. Dan untuk melangsungkan pertemuan itu aku harus mengirimkan pesan singkat terlebih dahulu kepada Bapak Dosen yang bersangkutan. Aku melakukannya dengan meminta Ange untuk mengirimkan pesan tersebut, Aku kenal Ange, dia sangat lihat dalam berkomunikasi. Menghindari kesalahan yang kubuat dalam pesan singkat kemarin, aku delegasikanlah tugas itu kepada Ange. Dan dia mau. Pukul sembilan tepat Ange mengirimkan pesan balasan kepadaku, tepatnya dia men-forward balasan dari bapak Dosen tersebut, isinya

www, sy akan umroh tg 14 juli ekt 9 hr, mgkn sy ke kl setelah 26 juli 09. Apa kalian bs bgt. Hr ini mu k kl tp stl jumat sy pergi. Kalo mu ktm pg ini.”

Ada keganjaln, bapaknya menulis tahun 09. Ga tahu kenapa? Yang penting pagi ini bapak itu bisa, saya bisa dan Ange pun bisa. Jam 10.30 janji itu kami dibuat untuk bertemu di Dept. KL. Persiapan yang terburu-pagi pagi itu membuatku lupa untk mengirim pesan singkat ke Sekar untuk bisa gabung dengan kami pada pertemuan pertama ini. Dia itu juga merupakan salah satu anggota tim kita. Pukul 09.55 Aku sampai di kampus, langsung menuju kopma untuk dapat mem-print bab Pendahuluan yang telah ku kerjakan tanpa tidur semalaman. Print selesai, beranjak menuju Taman Bougenville dan menempati tempat duduk terdekat dariku. Aku ambil laptop dari tasku, kunyalakan bermaksud membuka serangkaian reference yang telah kita cari untuk bahan tulisan. Membacanya itu tujuanku. Aku tidak ingin terlihat bodoh dengan apa yang ku gagas, sedikit pengetahuan menjelang pertemuan dan konsultasi perdana ini akan membuatku baik ditengah gejolak perutku yang sangat lapar karena belum kuisi sedari pagi. Kulepaskan pandanganku ke arah Lobby A, disana ku temui sosok Ange dengan kemeja pink. Dia cantik pagi itu.

“gimana ly?”, dia menyapa.

“ini pendahuluannya telah aku print, namun untuk bahan yang Ange kasih kemaren, aku sama sekali ga ngerti nge.”, begitu aku membalasnya secara jujur.

Jarum jam sudah menunjukkan 10.20, kami belum beranjak. Ange memutuskan untk ke BKM Lt.2 bentar memantau jalannya piket English Day hari jumat ini. Dapat dipastikan, sama sekali tidak berjalan. Dan itu benar. Ange langsung menuju ruang Sekret BEM, mengambil satu lembar kop surat PHE, satu spidol hitam kemudian mencoretkannya di atas kop surat itu.

‘DON’T FORGET

TODAY IS AN ENGLISH DAY’

Ange itu bertindak dan berpikir cepat lagi matang terhadap apa yang menjadi tanggungjawabnya. Itu kesalutan pertamaku hari ini terhadap seorang teman bernama Ange. Kertas bertuliskan pemberitahuan itu diedarkan ke teman-teman bemers yang lagi membuka diskusi di BKM. Ya, ternyata mereka semua pada lupa kalo hari ini adalah hari Jumat dan harusnya menggunakan english dalam setiap obrolan di BKM. Tulisan Ange itu cukup menyegarkan ingatan mereka lagi.

Pukul 10.30, kita langsung bergerak cepat menuju Gedung C Lt.2 markasnya Dept. Kesehatan Lingkungan, tempat pertemuan itu akan dilangsungkan. Lima menit menunggu belum terlihat sesosok dosen yang bersedia menjadi dosen pembimbing kami itu, Ange menyarankan untuk mengirimkan pesan singkat. Kukirimkan, dan kuterima balasan bahwa Bapak itu akan sampe sebentar lagi. Kita setia menunggu, hingga bergulirlah cerita yang SANGAT membuatku KAGET sekaligus KECEWA pagi itu, Ini cerita Ange yang dia dapat dari tantenya. Begini cerita Ange,

Ange tu kan punya saudara, sia tinggalnya di salah satu komplek perumahan gitu. Tertangganya saudara Ange itu adalah Dosen FKM Ly, saudara nya pernah bilang kalo kehidupan dosen itu sederhana saja. Ya rumahnya biasa aja kayak orang kebanyakan. Namun, yang luar biasanya ini Li, Anaknya dosen itu kan baru aja lulus SMA, dan dia pengen masuk Fakultas tempat ayahnya mengajar. Tapi, Ayahnya malah membalas “**ng**, p*l**g kamu **n*a *ad* *o**n”

Aku kaget, darahku mengalir dengan sangat deras ku rasakan. Pompa Kekagetan, sedikit merinding ku dibuatnya. Apalagi aku telah sejauh ini dalam memetakan kehidupanku di masa yang akan datang. Cerita berlanjut...

“dan tahun ga Li, saudara Ange itu bilang nama dosennya adalah Pak **m*****, Ada berapa _________ sih Li di FKM?, Ange bertanya.

Setahuku Cuma satu nge”, ku jawab singkat.

“Istrinya pake jilbab Ly,”, Ange meneruskan.

Saat itu, terbayang di benak ku satu wajah, teringat di memoriku satu kata. Aku menelan ludah dengan sangat dalam apabila yang aku bayangkan itu adalah orangnya. Sungguh Aku Kecewa, teramat sangat.

“kita ga boleh pesimis Ly, Ange yakin kok kita sukses. Kita di masa depan itu adalah kita hari ini ly, semangat..semangat!!!”, Ange membuyarkan ku memikirkan senyum sosok bapak Dosen bernama -rahasia- yang tengah menari-nari di kepala ku mengenang beberapa hari yang telah berlalu, hari kebersamaan itu.

“iya, Nge. Aku akan yakin dan optimis bahwa masa depan yang cerah telah menunggu ku untuk dapat kupersembahkan kepada kedua orang tuaku dan masyarakat luas” ku membalas. Itu kesalutanku yang kedua hari ini kepada sosok teman yang baru empat bulan aku dekat dengannya.

Waktu terus bergulr ditengah perjalanan cerita tadi. Kedatang seorang sosok dosen berwajah 60 tahun, berambut putih dengan kacamatan bingkai tebal berwarna coklat muda. Dia melirik kearah kami. Kami membalas dengan senyuman. Dia pun bertanya, “Apakah kalian yang telah membuat janji dengan saya hari ini?”

“Iya pak”, begitu jawab kami serempak seraya mengikuti langkah bapak itu memasuki ruangan pertemuan yang berukuran kurang lebih 2*1. Dia menyalami ange pertama, kemudian aku, aku malah hingga menciumi tangan tuanya itu. Kemudian dia lanjut bertanya, “kalian dari mana?”, pertanyaan yang cukup aneh menurut kami, saling berhadapan. “FKM Pak” kembali menjawab serempak. “Oh, Apakah kalian yang membuat janji bertemu saya jam sebelas?”, bapak itu terus bertanya tanpa mengijinkan kami duduk terlebih dahulu. “bukan pak, tadi itu janjinya jam 10.30. maaf pak, Apakah bapak adalah bapak Suyudi?” ange menjawab dan berbalik bertanya. “Oh, bukan. Kalian yang akan bertemu dengan Pak Suyud?”, kembali bertanya sambil mengalhkan pandangannya menuju ruangan disi tengah gedung itu.

“iya, pak suyud itu yang kami maksud”, kami menjawab.

Bapak itu terlihat linglung. Nyata, telah terjadi kesalah pahaman pagi ini, bukan kami mahasiswa yang akan ditemui bapak yang memakai kemeja garis-garis berwarna biru muda itu.

Meyadari hal itu, kami pun langsung meminta maaf, dan berpamitan. Bapak itu menerimanya, dan malahan membantu mencarikan Pak Suud keruangan yang di tengoknya tadi.

Ternyata dia tidak menemukan.

“kami tunggu di luar saja pak, tadi pak Suyud nya sudah bilang sebentar lagi nyampe kok>”, lagi-lagi ange mebncoba mencairkan suasana. Dan akhirnya kami kembali ke bangku panjang diluar. Menunggu.

Lima menit kemudian ketika kami melirik kebawah tangga, kami temui sesosok lelaki tua berperawakan ramah nan tegas. Setibanya di lantai dua tempat kami duduk, kami pun langsung bergegas berdiri. Tersenyum. Dibalas dengan senyuman pula. Dari tatapannya Aku tahu Bapak ini sudah yakin kalo kamilah mahasiswa yang menghubunginya dua hari yang lalu meminta menjadi dosen pembimbing. Tatapan itu terlihat jelas.

“saya Ange pak dan ini.”, Ange kembali membuka pembicaraan “Dan saya Lili yang kemarin mengirimkan sms kepada bapak” aku melanjutkan.
“oh, ya kalau begitu. Saya Suyud” bapak yang kelihatan ramah ini memperkenalkan dirinya juga.” Ayo masuk!”, dia meneruskan.

Kami pun melangkah masuk mengiringi langkah kaki nya yang lambat. ‘Inilah bapak
Dosen Pembimbing yang akan umroh tanggal 14 besok’, aku membatin. Langkah kami kali ini lebih tegas, kami yakin telah mengikuti langkah yang benar, langkah dosen yang akan menjadi pembimbing kami. Dia membawa kami kesebuah ruangan rapat. Meja yang berdiri kokoh di tengah ruangan itu berbentuk seperti bulat telur, dikelilingi oleh sederatan kursi bertanngan dua yang memiliki warna merah menyala. Aku membatin lagi,”pasti niat warna merah ini untuk menghadirkan semangat disetiap rapat yang akan dilangsungkan pada ruangan ini”. Beliau-bapak Dosen- duduk pada kursi utama-bagian terdepan- Aku dan Ange pun langsung menempati kursi terdekat di samping beliau. Perkenalan pun diulang kembali. Selesai. Kemudia di buka lah pertemuan itu oleh Ange, seari aku mengeluarkan laptop dan alat tulis ku yang lain.

Dari sinilah bergulir cemeti cerdas itu,,cerminan diri dan pencerahan arti hidup yang hakiki..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar