Unpreditable born: love come after
geli, ketawa-ketiwi, senyam-senyum........
itu yang kurasa dan alami setelah menerima telepon dari seseorang yang jauh dari tempat ku sekarang. Bermil-mil. Menyeberangi selat sunda. Dan rentetan pegunungan bukit barisan di sumatra. Seorang yang teramat aku sayang. Seorang yang kehadirannya tidak pernah terlintas di benakku tujuh tahun sebelumnya. huhu. Seorang yang mendatangkan kebahagian di keluargaku. Seorang yang membawa senyum di kala senang dan sedih. Seorang yang senantiasa aku jahili. Kedatangan-nya yang sempat membuat ku risih, syok en sempet rada frustasi, tapi.. sungguh. seorang itu sangat aku rindu. Tak sabar bertemu seorang itu.
Seorang yang lucu, berambut kriwil-kriwil-kribo-, berkulit sawo matang, bermata sipit, bertubuh sedang, suka akting, suka bikin konser sendiri, suka pula menggangguku, seorang itu Nurul, atau akrab disapa nyunyun. Dia adikku. Satu-satunya. Tersayang.
*******
Tidak pernah terbayangkan dan terpikirkan sedikit pun oleh pikiranku yang cemerlang ini akan kehadirannya ke dunia. Bagaimana tidak, dia begitu saja keluar dari rahim ibuku ketika aku sudah duduk di bangku kelas dua SMP (amazing bukan, yeah),, siapa pun mungkin tidak mempercayainya. Aku berjarak kurang lebih 12 tahun dengan adik kriboku itu, lo. Aku lahir tahun 1992, sedangkan dia baru muncul tahun 2004. Ahhh..... bodohnya lagi, ketika aku mengingat peristiwa sebelum kelahiran dia itu. Sungguh, aku benar-benar tidak peka terhadap lingkungan keluarga ku sendiri. Ibuku hamil aja aku ka ga tahu, dan parahnya ga ada yang kasih tahu. Sama sekali, baik itu ayah, kakak, abang, ataupun mak o ku.. semuanya seperti berencana memberikan kejutan spektakuler kepadaku. Dan sungguh teramat sungguh, aku TERKEJUT sekali. Perihal tidak mengetahui, karena kehamilan ibu aku itu terlihat biasa, perutnya tidak terlalu membesar, jadi estimasiku, mungkin Ibu lagi cacingan aja,, atau apapun itu, tidak pernah kepikiran Ibu sedang mengandung bayi, (masak masih hamil sih, kan udah 41 tahun, begitu aku membatin, disaat2 aku curiga dengan kebiasaan ibuku menjelang kelahiran si kribo itu).
Dan kecurigaan ku pun akhirnya pecah, dan membungkam,, seorang memberikan jawaban terhadapku. Seseorang yang kerap menjahiliku di sekolah. Bisa ku bilang, dia musuh ku. Ketika pulang sekolah (jaman SMP), dia nyamperin aku, memukul pundakku seperti biasa, dan selalu membuatku terkejut, tidak hanya karena pukulannya yang cukup menyiksa pundakku yang lemah, namun suaranya yang besar pun menyakiti rumah siput telinga ku, kencang dan keras, ‘selamat ya, loe bakalan punya adek,,,hehehehee’, dia berucap, penuh semangat, namun dengan nada yang cukup membuatku risih. Tapi apapun itu, aku berterima kasih sama musuh ku yang satu ini.
Setibanya di rumah, aku langsung mengamati perut Ibuku dengan seksama, seksama mungkin. Diam, tidak pernah aku berhasrat sedikit pun untuk bertanya langsung sama Ibuku, apakah dia hamil atau cacingan. Aku dikasih penjelasan lagi tentang kebenaran fakta itu oleh kakak sepupu ku. Ceritanya, malam itu aku nginap di rumahnya. Menjelang tidur, seperti biasa, bergurau, canda – tawa, namun di sela-sela gurauan, dia menyelamati ku. Sedikit menyentak pikiran dan relung hatiku, namun aku mengiyakan, dan berbalas terima kasih.
Hingga hari kelahiran itu pun datang, ayah tak pernah memberi tahuku, ataupun menyinggung perihal kehamilan ibuku. Dan aku pun tidak berniat bertanya perihal itu, semakin hari aku telah dapat menyimpulkan sendiri. Bahwasanya itu benar. Aku akan dipanggil kakak, oleh seseorang yang masih mengumpat di balik rahim Ibuku hingga 1 ramadhan tahun 2004 M.
19.55. bertepatan dengan 1 ramadhan 1425 H ba’da isya, dia yang tidak ku nanti itu muncul. Kehadirannya menyiksa Ibuku, secara di usia segitu masih harus melahirkan seorang bayi. Tahu ga, parah nya, seorang yang kini telah resmi jadi adikku ini request dua bidan untuk mengeluarkannya dari singsananya.Parah. aku ketawa sendiri klo ingat kejadian itu, dan tahu ga, setelah suara tangisan bayi itu menggema ke seantero rumah ku, baru lah ayahku bertutur dengan sangat lugu nya,’selamat ya,, udah jadi kakak’,,, Huh... aku Cuma bisa membuang nafas panjang, bukannya aku ga seneng lo, cuman. Uh,, frustasi abise,, kenapa ayah baru ngomong saat kelahiran ini,, bener-bener sok romantis nih si ayah ku,, kebangetan kejutannya...
*****
Satu tahun kelahiran sang adik luar biasa yang mengejutkan aku. Aku pun tersenyum. Dia sekarang sudah bisa menyapa aku,, ta-tah ta-tah,, geli aku melihatnya,, seorang bayi di depanku ini telah menghadirkan lengkungan sempurna di pipiku, walaupun aku sedih dia telah merampas prediketku sebagai anak bungsu. Namun tak apalah,, status anak tengah pun tidak akan mengubah takdir ku yang telah tertulis sejak kapan tahu..
Beranjak dua tahun, aku semakin menyayanginya. Dia membawa berkah di keluarga ku. Sejak ada adikku ini, ayah ga pernah marah pada tingkat oktaf tertinggi lagi,, paling paroan. Ibu juga begitu, tidak pernah terlihat begitu murung lagi, apalagi ketika keadaan sulit, dia tetap mempertahankan senyum di wajahnya yang sudah mulai menua. Aku pun begitu. Hari-hari terasa terisi penuh setelah kehadirannya. Menggendongnya, menyanyikannya, menyuapinya. Aku melakukan semua itu dengan senang. Hingga usianya pun kini telah beranjak tiga tahun, dia telah mampu berjalan sempurna, sedikit berlari dengan langkah cepat, dia mengejar ku. ‘Kak II’,, begitu dia memanggilku dengan suara cemprengnya.. hahha adikku itu suaranya cempreng,, namun dia tetep PD dan tidak mau ketinggalan sehari pun untuk membikin konser di ruang tamu keluarga, hingga meja tamu ku itu ambruk,, patah,, diinjak-injak plus di-jingkrak2-in sama si kribo itu...hahaha.
Tapi,.... tetep aja ga ada yang pernah marah sama dia. Kecuali aku..hahah. ayah selalu membela apapun yang dilakukannya, begitu pun Ibu, kakak tetua, abang, dan kakak tengah. ‘Payah’. Begitu aku bergumam, seharusnya aku yang digituin.. aku emang paling suka iri. Namun semenjak itu. Tidak lagi. Aku tidak iri lagi. Dia sudah kuterima dengan segala keterbukaan ku. Aku menyayanginya, begitu pun dia sangat menyayangiku. Aku ingat ketika aku dimarahi oleh ayah dengan kemarahan yang teramat snagat, dan dia menghampiriku- si kribo itu- menyuruhku berhenti menangis. Begitu pun, dia menghampiri ayah, menyuruhnya untuk tidak lagi memarahiku. Aku semakin menangis, air mataku semakin membasahi wajahku, pertama karena ayah memang sangat memarahiku kala itu, kedua, karena bocah kribo itu, bocah yang selalu aku jahili sampe dia nangis dan ngadu sama abangku, dia, bocah kribo, membelaku, ketika semua orang hanya diam. Sungguh, aku menyayangimu. Kribo ku, Nyunyun..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar