suara ujung pena

Rabu, 28 Juli 2010

Writing

Pengalaman menulis Part 1

Menulis, kebiasaan ini sudah aku mulai dari sejak kecil. Sejak aku mengenal huruf dan angka, sejak aku bisa menggunakan pensil dengan baik, sejak aku berani merangkai huruf-huruf menjadi namaku. Sejak aku bisa merasakan dan peka terhadap lingkungan sekitarku. Sejak itu aku mulai rutin menulis. Apapun.

Bagiku menulis adalah anugrah terbesar Tuhan yang diberikan kepadaku. Menulis adalah caraku untuk mengungkapkan rasa, yang terkadang sangat susah untuk dilisankan. Dan aku pun mulai menulis.

Aku pertama kali menulis ketika aku merasakan apa yang dinamakan peka dan rasa. Semua itu aku tulis di sebuah buku diari. Kisah pertama yang aku tulis adalah kisah tiga hari melewati pesantren kilat SD-se gugus. Banyak cerita seru, unik dan menyedihkan yang aku alami pada tiga hari itu. Oleh karena itu aku menulisnya.

Pertama kali, aku menulis mengenai teman-teman baru ku dari berbagai SD dalam satu gugus di kecamatan kami. Aku ditempatkan pada kelas B, dan saat itu cuma sedikit teman satu sekolahan yang sekelas dengan aku. Jadi bener-bener menuai cerita tak terlupakan di kelas itu. Mulai dari ada teman terlucu, teraneh hingga seorang teman yang mungkin akan selalu aku ingat namanya, karena kini pun aku sudah lupa akan rupanya.

Dari kelas inilah, kelabilan ku muncul yang pada akhirnya menjadi boomerang bagiku. Perasaan suka lawan jenis itu mendera. Aku suka sama teman laki-lakiku dari SD tetangga. Dia sangat menarik menurutku, mulai dari senyumnya hingga gayanya bicara, seolah ditakdirkan untuk terus menatapnya, posisi duduk ku sangat strategis untuk dapat mengamati dia secara seksama. Dan tertulislah kisah cinta pertama ini di buku diary-ku. Ya, cinta sepihak lebih tepatnya. Tanpa aku tahu bagaimana perasaan nya terhadapku.

Cerita mengenai kelabilanku, yang telah tertarik kepada laki-laki saat masih berusia 10 tahun adalah kisah yang mengawali ku untuk menulis di buku diary. Hingga kejadian pahit itu menghentikan ku.

Di buku diary, aku menulis mengenai ketertarikan ku itu, semuanya, mulai dari mendeskripsikan fisiknya hingga mencari informasi lebih lanjt mengenai siapa dia dan bagaimana dia di sekolahnya. Aku mendapatkan informasi itu dari salah seorang temanku yang rumahnya berdekatan dengan rumah laki-laki yang aku suka itu, tentunya aku tidak bertanya langsung karena akan mengundag kecurigaan. Beribu taktik aku gunakan agar dapat mengorek informasi darinya tentang laiki-laki itu.

Dan berikut informasi yang aku dapat dan aku tulis kan di diary ku,

Dia itu anak pertama dari tiga bersaudara, satu-satunya laki-laki di keluarganya, di sekolah dia termasuk yang sering jadi juara kelas, saingannya di sekolah juga bernama sama dengannya, seorang perempuan, yang juga menaruh hati kepadanya. Tiap sore dia selalu naik motor dengan ayahnya ke salah satu pasar di desa seberang. Dan aku ingat banget plat nomor motor bapaknya itu 6173.

Aku tulis semuanya, perasaan labil ku menuntut ku bahwa aku ingin jadi pacarnya, sangat kekanak-kanakan banget. Namun karena itulah aku tidak bisa begitu saja melupakannya, apalagi sama peristiwa pahit yang mengiringi debutku dalam menulis seluruh isi hati ku tentang orang yang aku sayangi.

Tiga minggu menjelang ujian akhir sekolah, semuanya terbongkar. Teman-teman ku mengetahui semua rahasia yang ku muat di diary setelah selama ini ku pendam erat-erat. Mereka – teman laki-laki dan perempuan ku ketika SD- mengetahuinya dengan cara yang paling aku benci. Sangat aku benci. Mereka mencurinya.

Ketika bertandang main sepulang sekolah ke rumahku, mereka mengibuli ku, tanpa sepengetahuanku mereka mengobrak-abrik kamarku, dan menemukan sebuah buku biru tipis dengan satu pulpen hitam didalamnya. Itu diaryku. Mereka membacanya di belakangku. Mereka membawa buku itu ketika beranjak dari rumahku. Dan aku tidak tahu sama sekali.

Sorenya mereka mengajak ku main kembali di tempat kita biasa ngumpul dan curcol bareng. Tentunya aku sangat mau. Ketika aku ke tempat ngumpul bareng itu, aku cukup kaget, mereka semua-yang tadi ke rumahku-ada dan masih menggunakan seragam sekolah, benih curiga pun mulai mengentayangi pikiranku (Ada apa dengan mereka). Aku menanyakan kepada mereka kenapa sedari tadi belum pulang dan tidak berganti seragam sekolah dengan pakaian main. Tidak satu pun dari mereka menjawab. Mereka menatapku dalam, sambil senyam-senyum ga jelas dan ga karuan. Yang semakin membuatku curiga. Sangat curiga, karena ini di luar perlakuan biasa mereka terhadap ku.

Kecurigaan ku akhirnya terjawab ketika, salah seorang teman laki-laki ku itu, menunjukkan ke depan mataku sebuah buku biru. Ya.. itu buku diariku yang telah mereka curi. Sesaat, refleks aku langsung mencoba mengambilnya. Namun dia semakin mempermainkan ku, mengangaktnya tinggi-tinggi hingga aku pun tidak dapat menjangkaunya. Teman-teman yang lain semakin tertawa melihat ekspresi ku yang berupaya meraih bukuku, mereka kompak menjadikan aku bulan-bulanan mereka hari itu. Dia –teman laki2 yang memegang diaryku, yang kuyakini pula dia lah dalang yang berniat mencuri buku diaryku- terus berlari untuk melarikan diary, dia berlari sangat kencang dan cepat hingga aku pun tak sanggup mengejarnya. Dia lari sambil membacakan setiap kata yang aku tulis di buku itu, dia mempermalukanku. Bukan hanya dia, semuanya. Teman-temanku itu sungguh tidak berdaya pula untuk tidak memperolok-olok ku dengan ikut tertawa tanpa sedikit pun bergerak untuk membantuku mengambil kepunyaan ku. Diaryku. Hari semakin sore, dia dan mereka akhirnya berhenti mengolok-olok ku terhadap apa yang kutulis di diary ku. Mereka pulang, tanpa perasaan bersalah ataupun meminta maaf kepada ku. Dan dia, membawa diary itu bersamanya.

Aku tak bisa menahan tangis saat itu, aku menangis sejadi-jadinya. Teman-teman yang aku sayangi mengkhianatiku, seolah mereka memusuhiku hari itu. Aku pun mempertanyakan kepada diriku apakah mereka memang teman-teman ku. mereka jahat. Sungguh jahat. Mereka merampas hak privasiku. Tidak semuanya kan harus aku ceritakan kepada mereka?. Termasuk segala hal yang aku tulis di diary itu.

Menjelang larut malam pun aku semakin sedih. Pertama aku ingin menulis, namun diary ku dicuri oleh temanku sendiri. Aku ingin menuliskan semua kebejatan yang mereka lakukan hari ini kepada ku. Namun aku sungguh tidak sanggup. Kedua, aku memikirkan apa yang akan terjadi esok hari di sekolah, mereka tentunya akan semakin menjadikan aku bulan-bulanan karena diary ku itu. Dan itu benar, sungguh sangat membuat aku takut berangkat sekolah pagi itu.

Biasanya aku sudah sampai sekolah pukul 7 pagi, jarak sekolah ke rumah ku tergolong dekat, namun tidak untuk pagi itu, 7.15 pun aku masih di rumah, tidak sarapan dan tidak makan cemilan apapun. Perasaan gugup dan takut menjadi bahan olok-olokan menyelimuti pikiran ku. Sehingga langkahku kesekolah serasa di tahan oleh sebuah batu besar. Teriakan Ibuku akhirnya memaksa ku untuk tetap ke sekolah hari itu.

Sesampainya di sekolah semua yang aku prediksikan. Terjadi. Mereka semakin semangat mempermainkan hati dan perasaan ku, mentertawakanku, bahkan terkadang aku melihat ada juga yang menghinaku. Aku dibilang tidak pantas dengan apa yang aku tulis di diary.

Seharian aku di olok-olok, tanpa seseorang pun melakukan pembelaan terhadapku. Mataku bengkak ketika aku sampai dirumah. Di sekolah tidak satu pun aku menyimak pelajaran, perasaan ingin mengambil diaryku itu terus muncul. Walaupun aku yakin sangat susah. Karena diary itu ada di tangan dia, teman sekelas ku yang terkenal sangat jahil.

Hingga hari kelulusan pun, diary itu belum kembali ke tangan ku. Aku telah mencoba melupakan nya, seiring dengan mereka yang juga sudah lelah mengolok-olokan ku. Fokus sama ujian Nasional cukup membantuku untuk cepat mengalihkan perhatianku dari apa yang cukup memuakkan ku, aku tidak tahu buku diary itu entah dimana dan di apakan oleh dia. Dibakar, dosobek-sobek, aku tidak peduli. Yang aku tahu, peristiwa itu meninggalkan trauma tersendiri bagi ku dalam menulis dan bergaul dengan orang untuk menjalin pertemanan. Hingga tahun awal SMP, aku tidak pernah lagi menulis cerita-cerita yang aku alami sehari-hari, terutama di dalam diary. Tidak pernah. Perasaan takut akan pengkhianatan seorang teman mengukuhkan hatiku bahwa aku tidak usah lagi menuliskannya di diary. Cukup aku ingat dan kenang saja mozaik hidup yang pernah aku alami.



1 komentar:

  1. mungkin tulisan di atas sangat kaku dan acak-acakan, sungguh kekanak-kanakan. namun mungkin itu pulan lah yang dinamakan menulis merdeka, menguak segala asa dan rasa hingga tak terhingga lega yang terasa.

    BalasHapus