
Masih ingatkah Anda dengan kasus yang menimpa seorang guru besar di Universitas Parahyangan pada awal Februari tahun ini? atau pada kasus yang sama juga dialami oleh Institut Terbaik negeri ini beberapa waktu lalu? Semoga Anda tidak melupakan dua peristiwa besar yang sekaligus telah menodai dunia pendidikan, keilmuwan dan intelektual Indonesia. Bagaimana tidak, ini adalah kasus penciplakan atau sering disebut plagiat dalam bahasa intelek-nya. Mungkin Dalam istilah sehari-hari Anda akan menemukan kata copy-paste (atau disingkat copas), nyontek, niru dan lain sebagainya yang semuanya itu adalah tindakan illegal. Anda mengAkUi sesuatu yang bukan karya asli anda.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, penciplakan adalah tindakan mengambil karya orang lain tanpa pemberitahuan secara terbuka, lalu menerbitkannya sebagai karangan sendiri. Itulah yang terjadi pada dua kasus di atas. Pada kasus pertama memuat artikel di media massa atas namanya; sedangkan pada kasus kedua aksi penciplakan dilakukan secara koletif antara mahasiswa yang akan memperoleh gelar Doktor dengan dosen pembimbingnya. Sungguh ironis. Menimbang bahwa kegiatan plagiat ini terjadi di ranah intelektual indonesia. Pertanyaan pun bergulir, mengapa mereka melakukan tindakan kriminal ini? bukankah mereka adalah orang-orang di lingkungan akademisi yang mengetahui dengan pasti aturan penulisan lingkup ilmiah?
Jawabannya adalah karena mereka –orang-orang yang melakukan tindakan plagiat—sedang digerogoti sindrom megalomania. Yaitu serangan ‘pantang tidak disebut hebat’. Apalagi di lingkungan akademisi, Kalau sudah mendapat gelar banyak tapi belum menghasilkan karya ilmiah populer atau buku bestseller maka gelar yang memperlebar namanya itu ‘dipertanyakan’ keabsahannya. Menjawab tantangan akademisi itu memicu para intelektual berada dalam kondisi kritis-menciplak. Untuk itu pada akhirnya karya orang lain pun di AKUi sebagai karya sendiri.
Di indonesia, merebaknya kasus plagiat di ranah akademisi dipicu oleh tiga hal. Pertama, mentalitas menerabas-dalam arti ingin cepat tenar dengan cara cemar-masih membudaya di masyarakat. Hakikatnya, dewasa ini kebanyakan orang hanya mengutamakan HASIL, prosesnya tidak ada, apalagi nilai-nilai perjuangan akan hasil seperti apa yang akan dipersembahkan kepada masyarakat luas. Sebagaimana tri dharma perguruan tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Apabila suatu karya ilmiah seorang profesor adalah hasil plagiat, maka sisi penelitian dan pengabdian masyarakat pasti akan terlupakan. Karena telah terjadi alih fungsi dari dilahirkannya sebuah karya tulis ilmiah tersebut.
Kedua, hasrat hebat tanpa berbuat telah merasuki benak sebahagian ilmuwan indonesia. Dewasa ini, seorang pakar tanpa karya yang mengakar hanya akan dianggap mem’bual’. Untuk itulah, demi mempertahankan ke’pakar’annya, seseorang harus senantiasa berkarya, walaupun harus dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Menciplak.
Ketiga, minimnya saksi hukum tentang palgiarisme. Padahal ini nyata suatu tindakan yang mengandung unsur pidana. Tindakan plagiat dapat disejajarkan dengan korupsi, atau setidaknya pembajakan. Namun sejauh ini yang ada baru sebatas sanksi administratif saja.
Disamping tiga pemicu di atas, terdapat dua kondisi lagi yang semakin melonggarkan aksi plagiat di indonesia. Pertama, kasus ketika yang menulis sebuah karya tulis atau buku adalah seseorang yang punya nama besar ataupun pakar, maka akan dijumpai bahwa sebagian besar anggota redaksi jurnal ilmiah tidak bertindak serius dalam menilisik keaslian naskah yang akan diterbitkan-kan oleh orang terkenal. Kedua, ketika sindrom malas menyerang para dosen pembimbing atau penguji terhadap karya mahasiswanya. Seperti tidak mau terlalu repot dengan harus membaca baris demi baris karya ilmiah yang diajukan mahasiswa. Apabila dua pilar ini tetap keropos, rapuh dan runtuh maka plagiat akan selamanya menjadi epidemi di indonesia. Sindrom megalomania pun akan terus berjaya.
Daftar pustaka
Damanik, janianto. 19 februari 2010. ‘Epidemi Plagiarisme.’ (Juli 2010). http://edukasi.kompas.com/read/2010/02/19/11373972/Epidemi.Plagiarisme
‘plagiarisme di Kampus ITB: Dunia Intelektual Indonesia Ternoda’. 2010. Kliping
Tidak ada komentar:
Posting Komentar